Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Sabtu, 25 Mei 2013

Menjadi Pengrajin Pengki

Ditempat inilah aku mencari nafkah sebagai buruh lepas penggali pasir, untuk menghidupi keluargaku. Di kali Cigombong, Bogor, Jawa Barat. Orangtuaku memberiku nama Ujang Said.
Orang-orang di sekitar rumahku, di Kampung Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Bogor, biasanya memanggilku Pak Ujang. Usiaku memasuki 65 tahun. Semasa kecil, almarhum ayahku hanya sanggup menyekolahkanku hingga ke jenjang Sekolah Dasar.
Kendati demikian aku terus berjuang melawan kemiskinan, dengan bekerja serabutan sekuat tenagaku. Demi menghidupiku istri, ketiga anaku dan 6 orang cucuku. Alat-alat seperti cangkul dan pengki, aku andalkan sebagai modalku.
Aku memulai bekerja sebagai penggali pasir sejak tahun 1955. Mulanya aku melihat, beberapa orang mencari pasir di kali ini. Disitu niat mencari kerja aku jalankan. Meski aku tidak cukup memiliki pendidikan dan keahlian khusus. Kenyataannya hingga kini, sebagai buruh lepas aku menggantungkan hidup sebagai penggali pasir.
Hampir setiap pagi, aku memulai tugasku turun ke kali untuk mencangkul mencari pasir. Aku berendam ke dalam kali untuk memilih atau mencari pasir-pasir yang kualitasnya bagus. Pasir yang kualitasnya bagus, tidak bercampur dengan batu-batu kerikil yang terdapat di dalam kali ini.
Dalam sehari aku hanya dapat membawa satu hingga sepuluh pikul pasir kali atau sekitar satu gerobak pasir. Penghasilanku rata-rata dari pasir memang tidak menentu, bisa mencapai 40 ribu rupiah, dalam sehari.
Tenagaku terkuras habis, untuk mendapatkan 10 pikul pasir kali. Kadang-kadang aku, jatuh terpeleset, ke dalam kali, akibat memikul pasir, karena terlalu lelah. Binatang buas seperti ular, juga menjadi ancaman, ketika aku berendam di kali untuk mencari pasir.
Namun karena sudah terbiasa aku pasrah, apa pun yang terjadi aku tetap, berjuang mencari pasir kali. Tak jarang penyakit seperti meriang, pegal-pegal di sekitar pinggang dan kakiku kerap dirasakan tubuhku.
Latar belakang kehidupanku memang dari golongan miskin, bahkan sudah berada di bawah garis kemiskinan. Keturunan keluargaku, tidak memiliki kepandaian yang cukup. Menganyam bambu memang bukan keahlianku.
Pekerjaan mencari pasir di kali, sangat tidak cukup menutupi kebutuhan hidupku. Lama-kelamaan aku mulai mencari kerja lain, menjadi pengayam bambu, untuk membuat pengki dan pikulan pasir. Aku sangat berharap sekali agar hasil karyaku dibeli oleh orang-orang sekitar rumahku.
Pekerjaan sampingan, membikin pengki dari bambu, aku jalankan, mengingat di musim kemarau ini, pasir mulai susah aku peroleh.
Di musim kemarau ini, aku mulai mencari bambu yang letaknya jauh dari rumahku. Aku memilih-milih jenis bambu dan membeda-bedakan sesuai kualitasnya. Bambu yang bagus ini, sangat mudah dipotong dan dibentuk.
Bambu yang kubuat butuh waktu 4 jam. Itupun hanya untuk mengisi kekosong waktu agar aku mendapatkan tambahan rezeki. Aku membuat di depan rumahku yang sempit.
Rumahku ini, merupakan warisan dari orang tuaku. Anak-anakku yang ikut tinggal bersamaku, juga tidak memiliki kemampuan yang bisa diandalkan.
Hidup dalam kesusahan terus-menerus bukan halangan untuk mencari rezeki. Tampaknya, ini sudah merupakan suratan takdir untukku dan keluarga besarku. Namun demikian aku bahagia karena masih dikelilingi orang-orang yang aku cintai, istri, anak-anak dan cucuku.(Djoko Sulistyono/Ijs)

Please Give Us Your 1 Minute In Sharing This Post!
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →
Powered By: BloggerYard.Com

5 komentar:

  1. Udah susah kawan, nyari pengki jaman dulu...





    www.oden-houseware.com

    BalasHapus
  2. bukannya susah, tapi emang udah punah di Jakarta.,., hhahhaa

    BalasHapus
  3. ane kemarin liat di perkampungan kota Jakarta..
    Belum punah kok..

    BalasHapus
  4. iya siska, masih ada dipinggiran kota jakarta.

    BalasHapus
  5. dalam sehari mampu buat berapa byk pengki?

    BalasHapus