Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Selasa, 04 Februari 2014

Dengan sentuhan seni, kain perca tidak hanya sebagai bahan baku keset

Sentuhan seni memberikan sebuah produk memiliki nilai ekonomi lebih dari bahan aslinya. Demikian halnya dengan kain perca. Sisa-sisa dari kain tersebut selama ini hanya dimanfaatkan untuk membuat keset kaki, bahkan tak jarang hanya menjadi limbah tak bernilai.

Dalam pelatihan keterampilan yang selenggarakan Himpunan Wanita Dissabilitas Indonesia (HWDI) Sumut, didukung Lembaga Kemanusiaan Nasional PKPU Cabang Medan, Rafika Johani mengubah persepsi itu. Dia menyebutkan pelatihan tersebut memberikan keterampilan bagi penyandang cacat untuk memberi nilai tambah terhadap kain perca.

Wanita yang akrab disapa Evi Amroni ini mengatakan, selama ini peserta, meski memiliki bahan baku, baru dimanfaatkan secara terbatas. "Sebagian menjadikannya keset kaki. Sebenarnya kalau lebih kreatif, bisa lebih mahal dari keset kaki," kata Evi.

Setiap keset kaki yang mereka produksi ternyata hanya dihargai Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per lembarnya tergantung ukuran. Dalam satu hari pun hanya bisa mendapatkan dua lembar saja.

Halnya akan berbeda dengan memproduksi aksesoris. Selain tidak membutuhkan bahan baku yang banyak, dalam satu hari bisa dapatkan 10 buah. Harganya pun bisa mencapai Rp 15 sampai Rp 25 ribu per buahnya. "Kalau lebih kreatif harga jual lebih tinggi. Apalagi dengan memberikan sentuhan seni," katanya.

Dalam kegiatan pelatihan yang diselenggarakan selama dua hari beberapa waktu lalu, katanya, para peserta diberikan pelajaran dasar. Mulai dari membentuk bunga matahari, krisan, melati sampai aster diajarkan. Selanjutnya pada hari kedua dilanjutkan dengan merangkai dan membentuknya menjadi produk seperti ikat rambut, jepit rambut, hiasan di jilbab dan lainnya.

Kendati dengan menggunakan alat yang sederhana, hasil yang diproduksi bisa menarik. Avi juga mengajarkan analisis usaha. Dengan menggunakan kain perca, dia menghitung menjadi sangat menguntungkan. Evi Amroni mencontohkan, untuk karet rambut, bahan bakunya satu bungkus hanya sekira Rp 7 ribu untuk enam lusin.

"Satu karet harga di bawah Rp 500, kemudian kain perca, tidak beli. Dakor, sekilo Rp 30 ribu dan menghasilkan ribuan," katanya. Kemudian untuk bunga, sebutnya per satuannya Rp 500.

Jadi kalau dihitung-hitung modalnya tidak sampai Rp 1.000, sedangkan nilai jualnya bisa mencapai Rp 2.500 hingga Rp 25 ribu per satuannya.

Ketua Himpunan Wanita Dissabilitas Indonesia (HWDI) Sumut, Jenni Heryani, menyebutkan, pelatihan pengolahan kain perca diikuti 20 orang dari empat DPC, masing-masing Medan, Langkat, Binjai dan Deliserdang.

Kegiatan bertujuan membekali wanita disabilitas dengan keterampilan. Selain itu, sesudah pelatihan diharapkan bisa menularkam ilmunya ke anggota di DPC masing-masing.

"Kita harapkan mereka juga bisa melakukan wirausaha mandiri. Mereka ini pada umumnya memiliki usaha menjahit," katanya. Dengan begitu mereka memiliki banyak kain perca.

"Kini perca menurutnya, itu bisa dimanfaatkan maksimal dan tidak dibuang, tapi menghasilkan produk dengan nilai ekonomis lebih tinggi," katanya. Selain itu dia berharap keterampilan itu bisa ditularkan kepada murid-murid di Sekolah Luar Biasa.

Secara terpisah, Pimpinan PKPU Cabang Medan, Anggar Ifan menyebutkan, melalui kegiatan tersebut dia berharap anggota HWDI bisa mengembangkan keterampilan yang sudah dilatihkan. Sehingga nantinya bisa dikembangkan dan menjadi alternative usaha keluarga.

sumber

Please Give Us Your 1 Minute In Sharing This Post!
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →
Powered By: BloggerYard.Com

0 komentar:

Posting Komentar