Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Sabtu, 05 April 2014

Payung yang rusak

Saat memiliki barang-barang yang rusak, kita terlalu mudah membuatnya menjadi sampah.
Desember, orang Jawa bilang, gedhe-gedhe ning sumber. Januari, kerata basa dari hujan sehari-hari. Maka, secara harfiah pepatah yang paling dikenal pada 2 bulan itu adalah “sedia payung sebelum hujan”.
Dan, begitulah yang setiap tahun aku lakukan. Setiap memasuki musim hujan, pasti selalu membeli payung baru. Sebab payung yang lama, dipastikan sudah rusak oleh anak-anak.
Sudah jadi kebiasaan, setelah musim hujan lewat, payung-payung itu pun jadi terlupakan. Barang yang sebelumnya sangat berjasa, kemudian berganti fungsi menjadi mainan paling mengasyikkan bagi Iqra’ dan Ahya.
Dengan cara dibentangkan, kemudian dibalik, jadilah perahu layar dengan gagang payung sebagai tiangnya. Akhirnya, kawat pun patah, lepas, kain sobek, dan tak lagi bisa digunakan.
Begitu setiap bulan selalu terulang. Meski sudah kami simpan, tetap saja diambil diam-diam. dan bermain “perahu payung” menjadi kebahagiaan tak tergantikan. Akhirnya, setiap musim penghujan harus beli payung baru.
Tapi, tidak untuk tahun ini.
Kemarin, secara tidak sengaja, ketika sedang manulis di beranda, lewat seorang tukang payung keliling. Tiba-tiba, aku teringat pada onggokan payung di pojok gudang yang belum terbuang. Tukang payung itu pun kemudian kuminta memperbaiki 4 payung rusak.
Sambil bekerja dia bercerita. Katanya, asalnya dari Kerawang, namun telah 30 tahun di Solo. Konon, seharian itu sudah berkeliling ke mana-mana. Dan sejak pagi hingga sore, baru akulah yang memberikan pekerjaan padanya.
Dan keringat yang menderas pada keningnya, aku kemudian membayangkan pekerjaannya sehari-hari. Mengayuh sepeda jengki, dengan handuk kumal pada lehernya, serta topi merah bergambar partai sebagai penutup kepalanya, ia berkeliling dari perkampungan ke komplek perumahan, untuk mencari payung rusak.
“Apakah setiap hari selalu ada payung yang rusak, padahal musim penghujan tidak setiap bulan,” batinku sambil membayar hasil kerjanya.
Setelah tukang payung tua itu pergi, aku tiba-tiba tersadar dengan keberadaannya. Seseorang yang sangat setia terhadap pekerjaannya, meski tidak setiap hari mendapatkan penghasilan yang tetap.
Ia yang telah 30 tahun menggantungkan hidup (justru) dari sesuatu yang dari kita sudah menjadi sampah, sesungguhnya telah mengajariku tentang religiusitas yang tinggi. Tentang bekerja penuh kesungguhan, dengan segenap sikap kepasrahandalam permasalahan rejeki.
Bahkan, secara tidak langsung ia pun tengah mengingatkanku kembali tentang budaya hidup hemat. Budaya luhur yang semakin asing di tengah delombang kencang konsumerisme yang maha dasyat. Hingga tanpa ampun, kita pun turut takluk menjadi penganutnya yang taat.
Saat memiliki barang yang rusak, kita terlalu mudah membuangnya menjadi sampah. Tak pernah terpikir memperbaikinya lebih dulu, namun langsung berniat mengganti dengan yang baru.

sumber

Please Give Us Your 1 Minute In Sharing This Post!
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →
Powered By: BloggerYard.Com

0 komentar:

Posting Komentar